Selamat Datang | Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma | Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat

Saturday, March 28, 2009

Dijajah Jepang Episode II

Kupikir setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus tahun 1945 kita menjadi Negara yang merdeka dan berdaulat. Merdeka dalam arti yang sebenar-benarnya dan berdaulat yang sesungguhnya. Merdeka menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah bebas dari tekanan, penjajahan dan sebagainya. Sedangkan definisi terjajah adalah dalam keadaan dijajah, tertindas.
Indonesia dijajah Jepang bagian I tahun 1942 sampai tahun 1945. Pada saat itu, bangsa Indonesia dipaksa untuk mengikuti budaya, tradisi, gaya hidup dan takluk berada di bawah kekuasaan Jepang untuk melakukan segala perintahnya, walaupun itu menyakiti jiwa dan raga bangsa Indonesia. Sampai akhirnya kita berhasil lepas dari penjajah baik bangsa Eropa maupun bangsa manapun di dunia ini. Ironisnya, beberapa tahun terakhir, Negara kita menyerahkan dirinya untuk dijajah kembali, baik oleh bangsa Eropa maupun oleh bangsa Jepang, lagi. Perbedaannya, kalau dulu kita dipaksa berada di bawah kekuasaannya, sekarang kita secara sukarela berada di bawah kekuasaan Jepang. Omong kosong kita lantang berteriak anti kapitalis Amerika, tapi perangkat elektronik kita bermerek Jepang, kendaraan yang kita kendarai tiap hari produksi Jepang, bahkan anak-anak kita, kawan-kawan kita sedang keranjingan budaya Jepang. Para pahlawan mungkin menangis di alam kubur melihat tingkah laku generasi penerusnya. Tidak munafik, saya pun menggunakan beberapa merek Jepang, tapi setidaknya saya tidak keJepang-Jepangan, saya tetap keIndonesia-Indonesiaan walaupun belum ada yang kubanggakan dari Indonesia selain kenangan akan masa kecil yang tak bisa ditukar dengan harta apapun di dunia ini. Kenapa saya tiba-tiba punya pemikiran di Jajah Jepang bagian kedua, kebetulan tadi saya melihat festival Jepang disalah satu perguruan tinggi, yang kebetulan juga punya jurusan sastra Jepang. Dalam festival itu tidak hanya diikuti oleh mahasiswa Jepang, tapi oleh para pecinta Jepang. Mereka menggunakan pakaian Jepang (mungkin mereka tidak bisa ke Jepang jadi cukup berpakaian Jepang saja), festival music Jepang (para pemain music menggunakan atribut seolah mereka adalah pemusik dari Jepang dengan membawakan lagu berbahasa Jepang pula) serta mereka mengenakan kostum ala tokoh-tokoh komik Jepang (ntah mau jadi apa mereka, jagoan atau monster kah mereka). Terparah dari semuanya, bahkan budaya pohon harapanpun ada disitu, beragam keinginan tercantum, pengen lulus ujian, pengen masuk IPA (bagi siswa SMA), pengen jadian sama X dan lain sebagainya. Ntah untuk lucu-lucuan atau untuk apa semua itu mereka lakukan. Kembali ke jaman animisme dinamisme rupanya kita, minta sesuatu kok kepada pohon. Pengen ketawa sekaligus pengen pingsan melihat anak muda zaman sekarang. Anggaplah itu sebagai bagian dari mata kuliah (untuk sastra Jepang), namun sekedar tahu tidak perlu sampai begitu kan, toh alumni sastra Jepang juga tidak semua pergi ke Jepang. Jadi guru atau atase kebudayaan Jepangpun tidak harus menyelenggarakan festival yang keJepang-jepangan. Anak-anak jaman sekarang, karakter yang burukpun ditiru kostumnya sekedar untuk meniru budaya yang setengah mati coba ditinggalkan oleh generasi terdahulu. Kalau jaman saya dulu, memakai kostum adalah saat yang menggemberikan, walaupun kostum itu berupa kostum pakaian adat nusantara dengan harapan kita mengenal saudara kita di belahan pulau yang pada saat itupun tak kutahu dimana letaknya. Namun, saya tidak yakin mereka, yang mengenakan kostum Naruto dan kawan-kawan itu, tahu pasti apa nama pakaian adat suku Toraja, atau apa tarian daerah suku Minangkabau. Mereka justru mungkin akan lebih hafal apa jurus andalan Kenshin Himura dan berasal dari propinsi apa Conan Edogawa. Ironis bukan? bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perjuangan pendahulunya dan mengenali karakteristik serta ciri khas bangsa itu? Sungguh suatu hal yang tak kumengerti di Republik ini…

2 komentar:

mia said...

ya saya setuju dengan posting ini. tetapi untuk memojokkan komunitas jepang yg merupakan kaum minor saya kurang begitu setuju,, :)
sebenarnya kita bukan "sukarela", tetapi kita "butuh", knp kita menggunakan motor merek jepang?? bukan itu pertanyaannya, tetapi, kenapa indonesia tidak membuat motor sendiri?

untuk animasi atau costume player itu bukan hal yang salah, setiap org punya hobi dan itu adalah hak. saya bukan ingin menyombong, tapi saya bisa menggambar jauh lebih bagus dari illustrator/komikus jepang. tapi apa yg saya dapat d indonesia?? tidak "dilirik" sama sekali, tidak didukung, karena pemerintah kita sendiri miskin, shingga nasib para illustrator lokal hanya dibayar dgn satu bungkus nasi. andai perekonomian kita lebih kaya, kita bisa membuat perubahan.

org2 yg fanatik jepang/amrik itu hanya segelintir saja. masih banyak event2 budaya lokal ko', jauh lebih banyak daripada event jepang. jika memang anda jg cinta indonesia, buat pergerakan. tidak perlu event besar yg jutaan.
cukup membuat group/forum yg berisikan ttg budaya lokal dan sharing pengetahuan seputar kekayaan lokal. bukankah itu lebih baik?
memojokkan kaum minor itu bukan ciri budaya anak bangsa yang bermatabat kn?

:)
regards

change for indonesia said...

ya tidak demikian itu, kita belajar budaya. entah budaya jepang,cina itu pun hanya lah sebuah seni dari cipta karya manusia. dan seperti bangsa amerika,jerman dan bang sa-bangsa lain pun belajar dan suka pada budaya kita kok. Dan menurut ku kebudayan sesutu negara pasti mencerminkan dari suatu negara tsb. Makanya kita pun jangan asal hnya meniru saja budaya dari sebuah negara lain tanpa mengerti apa makna yg terkandung dlm budaya itu.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes