Saksikanlah, bukan sulap, bukan sihir, tetapi atraksi sandal melawan peradilan restorative. Saksikanlah, pertama kali di dunia, seorang pencuri sandal jepit, anak-anak pula, didakwa melakukan pencurian dengan ancaman lima tahun penjara. Saksikanlah beserta keanehan-keanehan lainnya, hanya disini, di sistem peradilan pidana Indonesia.
Apa menariknya atraksi sandal melawan peradilan restorative? Atau pertanyaan lainnya, apa hubungannya antara atraksi sandal dengan peradilan restorative? Atau pertanyaan lainnya lagi, apa sih atraksi sandal itu? Dan apa sih peradilan restorative itu?
Baiklah, akan coba dijawab mulai dari dua pertanyaan terakhir. Apa itu atraksi sandal? Mungkin udah bosan kawan-kawan lihat di televise ataupun di media-media lainnya tentang adanya skandal sandal yang konon mendunia ini. Kejadiannya bermula ketika seorang anak berinisial AAL dan beberapa kawannya disangka mencuri sandal milik Briptu AR. AAL dan beberapa kawannya diperiksa oleh Briptu AR dan Briptu SS. Pemeriksaan dilakukan dilengkapi dengan dugaan adanya penganiayaan kepada AAL dan kawan-kawannya. Dari viva news menyebutkan ada beberapa versi terkait proses hukum dalam perkara sandal yang ga seberapa itu.
Versi Orang Tua AAL
Orang tua AAL mengharapkan majelis hakim menghentikan perkara ini, karena AAL masih anak-anak dan apabila tetap berjalan prosesnya, pihak orang tua AAL hanya bisa pasrah. Selain itu, orang tua AAL melihat adanya kejanggalan dalam proses tersebut, diantaranya adalah barang bukti berupa sandal yang menjadi objek pencurian bukanlah sandal yang dicuri oleh AAL. Ada dugaan penukaran barang bukti.
Versi Kepolisian
Ini nih versi kepolisian yang sungguh-sungguh di luar dugaan. Terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan kepolisian ini, tapi satu yang patut kita catat, bahwa pelaksanaan proses dalam sistem peradilan pidana menurut kepolisian bisa by request, bahkan oleh pelaku sendiri. Versi kepolisian menyatakan, bahwa pihak orang tua AAL yang ngotot agar perkara dilanjutkan melalui proses hukum.
Versi Kejaksaan
Dari Kejaksaan menyatakan, bahwa perkara ini sudah pernah dicoba untuk dilakukan proses mediasi tetapi gagal. Pihak kepolisian menghendaki untuk melanjutkan ke proses pengadilan. Dalam bahasa kerennya dilakukan process verbal…^^ berdasarkan data di kejaksaan negeri, diperoleh kesimpulan, yang bersikeras membawa perkara ini ke jalur hukum adalah pihak korban (Briptu AR) bukan dari pihak pelaku (orang tua AAL)
Begitulah kira-kira beberapa versi yang saya rangkum dari vivanews dan beberapa artikel terkait lainnya yang dapat kengkawan jumpai dari satu link tersebut. Manakah yang benar? Versi orang tua, versi kepolisian ataukah versi kejaksaan? Disini kita tidak menghakimi skandal sandal, atau atraksi sandal yang mendunia itu (konon udah dimuat di Washington Post, dan beberapa media asing lainnya, “sandal sebagai symbol ketidakadilan di Indonesia”. Nah lalu, apa yang akan dibahas di sini selain versi mana yang benar. Pendapatku, yang tentu saja banyak yang bilang keliru dan tidak patut ditiru, menyatakan semua pendapat benar. Benar menurut mereka masing-masing. Yang akan aku bahas adalah tentang bagaimana seharusnya skandal sandal ini dalam sudut pandang peradilan restorative. Oleh karena itu judulnya adalah atraksi sandal dan peradilan restorative.
Untuk itu akan menjawab pertanyaan kedua, apa itu peradilan restorative dan apa hubungannya antara atraksi sandal dengan peradilan restorative.
Sudah pernah kutulis sebelumnya tentang peradilan restorative ini, yang dapat kengkawan liat di sini. Tapi biar ga ribet akan coba kuringkas, konsep peradilan restorative tidak memfokuskan diri pada kesalahan yang telah lalu, tetapi bagaimana memecahkan masalah tanggungjawab dan kewajiban pada masa depan pelaku. Jadi hukuman bukanlah suatu cara untuk menyelesaikan permasalahan, melainkan dengan menggunakan rekonsiliasi atau perdamaian untuk menciptakan kondisi seperti sedia kala.
Hubungannya dengan atraksi sandal adalah, berapa si harga sandal itu? Begitu mahalnya kah? Apakah tidak dapat diganti dengan membayar ganti sandal lainnya saja, terlebih jika pelakunya adalah anak-anak, sangat tidak bijak apabila perkara yang tidak seberapa tersebut harus melalui proses panjang dan berliku sistem peradilan pidana, selain tidak banyak manfaatnya, lebih banyak mudharatnya…^^
Versi Kepolisian menyatakan, bahwa perkara ini terpaksa dilanjutkan karena pihak orang tua AAL (tersangka) bersikeras untuk membawa perkara ke jalur hukum. Seandainya benar seperti itu, bukankah kepolisian memiliki wewenang untuk menghentikan penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana dan dihentikan demi alasan hukum. Atau dengan berdaarkan Surat Kapolri Nomor: B/ 3022/ XII/ 2009/ Sdeops tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute Resolution(ADR) yang menjadi pedoman bagi penyidik untuk memberlakukan alternative penyelesaian perkara sebelum dilakukan proses pidana. Menurut Surat Kapolri tersebut, penegakan hukum terkait dengan penanganan perkara pidana yang mempunyai kerugian materi/ ekonomi sangat kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR. Objek kan Cuma sandal yang memiliki kerugian ekonomi sangat kecil. Tentunya hal ini tidak sejalan dengan kehendak Surat Kapolri pun dengan jiwa peradilan restorative tersebut.
Anggaplah kemudian versi kepolisian ini benar, lalu dilanjutkan ke proses penuntutan di Kejaksaan, bukankah penuntut umum memiliki alasan untuk menghentikan penuntutan, bahkan mengesampingkan perkara sekalipun. Itu adalah wewenang penuntut umum dan jaksa agung atas nama penuntut umum. Tapi itu tidak dilakukan, bahkan sudah ada putusan pengadilan yang menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana pencurian (vivanews.com). Yang menjadikan atraksi ini makin menarik adalah, ketika putusan pengadilan menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan mengambil sandal akan tetapi bukan sandal yang dimaksud dalam barang bukti. Atas perbuatan tersebut terdakwa dikembalikan kepada orang tua. Mari kita cermati putusan tersebut, terbukti melakukan tindak pidana tapi bukan pada barang bukti yang dimaksud, jadi, bukankah maksud dari putusan tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan? bagaimana bisa meyakinkan, jika alat bukti yang diajukan tidak sah, atau tidak ada barang bukti yang mendukung alat bukti sehingga dapat dinyatakan terdakwa bersalah. Jika perbuatan tidak terbukti secara sah (dalam sudut pandang alat bukti) dan meyakinkan (dalam sudut pandang keyakinan hakim atas perbuatan dan alat bukti yang diajukan), maka hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pemidanaan. Anggaplah putusan pengadilan dalam perkara ini bukan putusan pemidanaan, karena terdakwa dikembalikan ke orang tua, namun, terdakwa dinyatakan bersalah, dan jika terdakwa berusia dewasa, maka akan dijatuhi putusan pidana. Ruwet ya, namanya atraksi memang ruwet, dan tidak semua orang bisa meniru, termasuk dalam perkara ini, tidak semua orang bisa meniru memang...^^
Pengadilan menjatuhkan putusan bersalah terhadap terdakwa, walaupun alat bukti tidak mendukung putusan tersebut. Penting ga sih putusan itu? Hanya untuk sebuah sandal? Bukankah hakim memutus perkara Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa? Lantas dimanakah letak keadilan dan berketuhanannya jika seperti itu keadaaannya?
Jadi bukan saatnya kita lempar pertanyaan siapa yang bersalah siapa yang benar, tapi melihat secara utuh permasalahan tersebut, masih pantaskah ini disidangkan dalam sebuah proses panjang, bahkan menjadi pembicaraan orang se Indonesia Raya dan Sejagad Raya…^^
Sungguh sebuah atraksi, konyol tapi menyakitkan, membuat kita berpikiran psikopat bagi siapapun yang mentertawakannya. Ini baru atraksi sandal, lain kali jika ada waktu akan saya ceritakan tentang atraksi pisang dan lain sebagainya.
Joyo-joyo wijayanti, manggiho nugroho dateng kito sami…^^
0 komentar:
Post a Comment